Wurianto Saksomo: Keberanian dan Kebebasan Pers

Wurianto Saksomo: Keberanian dan Kebebasan Pers
Ilustrasi Pers dibungkam.

NGAWI - Bila ada dua tokoh yang mewakili spektrum perjuangan jurnalisme Indonesia, mereka adalah Aristides Katoppo dan Herawati Diah. Keduanya adalah arsitek pilar keempat demokrasi, namun dengan gaya dan medan juang yang berbeda.

Aristides Katoppo merupakan simbol perlawanan, sementara Herawati Diah adalah cerminan kecerdasan dan ketekunan.

Aristides Katoppo, sang “lawan tanding rezim Orde Baru”, adalah sosok yang membuat tidur penguasa tak nyenyak. Ia wartawan berdarah Bugis-Minahasa yang punya insting tajam dan keberanian luar biasa. Sebagai pemimpin redaksi harian Sinar Harapan, Tides (panggilan akrabnya) menjadikan pers bukan sekadar penyampai berita, tapi juga agen kontrol sosial yang vokal.

Bayangkan, di tengah era Orde Baru yang represif, Tides berani menulis tanpa kompromi. Ketika kekuasaan berusaha membungkam, Tides melawan. Sinar Harapan dibredel pada 1986. Alih-alih menyerah, Tides yang berjiwa petualang memilih jalan lain. Ia menjadi peneliti dan penulis buku.

Langkahnya ini seolah berteriak, “Kalian boleh membungkam surat kabarku, tapi kalian tidak bisa membungkam penaku.” Tides mengajarkan bahwa keberanian jurnalis bukan sekadar ketidaktakutan, melainkan kegigihan mencari cara lain untuk menyampaikan kebenaran.

Di sisi lain, berdiri Herawati Diah, seorang jurnalis perempuan yang memancarkan kecerdasan dan pesona. Herawati adalah putri pejuang kemerdekaan dan penerus jejak sang ibu, Siti Alimah, yang merupakan wartawati era 1920-an. Herawati, yang pernah berkuliah di New York dan menjadi wartawan Antara di jaman penjajahan Jepang, adalah pelopor jurnalisme modern Indonesia.

Bersama suaminya, B.M. Diah, Herawati mendirikan harian Merdeka (1945) dan majalah Keluarga (1954), yang kemudian menjadi The Jakarta Post pada 1983.

Kehadiran Herawati tidak hanya sebagai pelengkap tetapi sebagai motor penggerak. Ia memiliki koneksi luas dan kemampuan diplomasi yang brilian, yang memungkinkannya mengelola media di tengah gejolak politik yang ekstrem.

Ia menjadi contoh bahwa jurnalisme yang kuat juga membutuhkan visi manajemen, jaringan internasional, dan kecerdasan emosional untuk bertahan dan berkembang.

Herawati Diah adalah representasi dari jurnalis yang mampu bergerak elegan namun efektif di tengah kancah politik dan bisnis yang didominasi laki-laki. Ia membuktikan bahwa kecerdasan seorang wartawan adalah senjata yang sama ampuhnya dengan keberanian, terutama saat harus memastikan kelangsungan hidup media yang ia bangun.

Namun, sejarah perjuangan pers juga diwarnai dengan tragedi yang menyayat hati, sebuah pengingat bahwa risiko pekerjaan ini bisa berujung fatal. Nama Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, wartawan harian Bernas Yogyakarta, adalah simbol kelam bagi kebebasan pers di Indonesia. Udin dibunuh secara keji pada 1996, setelah meliput isu dugaan penyelewengan dana oleh pejabat daerah. Tulisan-tulisannya yang tajam bak belati membuat pihak yang berkuasa merasa terancam.

Tragisnya, kasus pembunuhan Udin masih diselimuti misteri. Proses hukumnya terkesan direkayasa dengan mengorbankan Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir yang kemudian dibebaskan oleh Majelis Hakim karena tak terbukti bersalah.

Kasus Udin adalah luka menganga yang menunjukkan adanya impunitas terhadap pelaku kejahatan terhadap pers. Pembunuhan Udin adalah teror tertinggi. Peristiwanya meninggalkan sebuah pesan bahwa siapa pun yang berani membongkar kejahatan akan dibungkam selamanya.

Sayangnya, praktik penghalangan dan kekerasan terhadap kerja wartawan masih saja terjadi hingga ke daerah-daerah, termasuk di Ngawi, Jawa Timur.

Misalnya, intimidasi dan pengusiran terjadi saat para wartawan sedang meliput lokasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi yang diduga menjadi penyebab keracunan Makan Bergizi Gratis.

Tindakan arogansi ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, terutama Pasal 4 yang menjamin kemerdekaan pers dan Pasal 18 yang mengatur sanksi bagi pihak yang menghalangi kerja jurnalistik.

Warisan Aristides Katoppo dan Herawati Diah harus menjadi energi bagi jurnalis masa kini. Keberanian ala Tides untuk melawan penguasa dan kecerdasan diplomasi ala Herawati untuk menjaga integritas media adalah bekal penting. Sedangkan kasus Udin adalah pengingat bahwa kebenaran terkadang harus dibayar mahal.

Sementara itu, kasus intimidasi di Ngawi adalah pengingat bahwa pertarungan untuk kebebasan pers adalah pertarungan yang terjadi di setiap sudut daerah.

Negara dan masyarakat wajib memastikan bahwa tidak ada lagi wartawan seperti Udin yang kehilangan nyawa saat mengabarkan berita. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku intimidasi jurnalis adalah kunci untuk menghentikan kekerasan. Sebab, bila pena dibungkam dan mata publik ditutup, pada akhirnya demokrasi kita yang akan terancam.

Penulis adalah alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM