Utang Moral Bangsa kepada Guru, Oleh: Wurianto Saksomo

Utang Moral Bangsa kepada Guru, Oleh: Wurianto Saksomo
Foto Istimewa

NGAWI - Kasus ini bermula dari laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Polres Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada 2021 atas dugaan punggutan liar (pungli) komite sekolah.

Saat itu, Rasnal menjabat sebagai kepala sekolah, sedangkan Abdul Muis menjabat sebagai Bendahara Komite Sekolah di sekolah yang sama. Keduanya bersama orang tua siswa sepakat mengadakan dana sumbangan komite sekolah sebesar Rp20 ribu per bulan dari siswa yang sifatnya tidak wajib.

Dana tersebut bakal dipergunakan untuk mendukung kegiatan sekolah, di antaranya memberikan penghasilan bagi guru honorer.

Niat baik menolong guru tersebut ternyata membawa mereka berhadapan dengan hukum, ditetapkan tersangka oleh kepolisian, dan disidang di pengadilan.

Keduanya sempat divonis bebas oleh hakim pengadilan, tapi jaksa mengajukan kasasi. Pada 2023 melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis bebas pengadilan sebelumnya dan menjatuhkan keduanya vonis penjara setahun. Berdasarkan putusan MA ini, pada 2025 keduanya diberhentikan secara tidak hormat sebagai ASN.

Kisah pilu dua guru ASN yang divonis penjara lantas dipecat tersebut telah mengguncang hati nurani publik Indonesia. Kesalahan fatal menurut vonis hakim karena mereka memungut iuran sukarela.

Suatu tindakan yang bahkan disetujui oleh komite sekolah dengan tujuan mulia, yaitu membantu memberikan penghasilan bagi sepuluh guru honorer yang telah mengabdi tanpa bayaran selama sepuluh bulan.

Kasus ini bukan sekadar anomali hukum. Ia adalah cerminan kegagalan sistem pendidikan nasional yang berulang. Sebuah tragedi modern yang menemukan bayangan suramnya dalam perjuangan yang telah lama dikisahkan oleh Andrea Hirata dalam novel ikoniknya, Laskar Pelangi.

Pada intinya, kasus Luwu Utara adalah konflik tragis antara empati kemanusiaan dan kekakuan birokrasi. Abdul Muis dan Rasnal berdiri di garis depan membantu rekan-rekan mereka, para guru honorer.

Mereka memilih solidaritas alih-alih menutup mata, mengambil risiko demi memastikan bahwa sepuluh pahlawan tanpa tanda jasa itu bisa sedikit bernapas.

Keputusan ini, yang lahir dari naluri guru sejati justru dibalas dengan sanksi terberat: kehilangan kebebasan dan pekerjaan.

Stigma pidana yang melekat pada pengorbanan ini mengirimkan pesan yang sangat memilukan, bahwa inisiatif kolektif untuk menyelesaikan masalah sistemik dapat dihukum lebih berat daripada kegagalan sistem itu sendiri.

Membaca kembali kasus Luwu Utara, sulit untuk tidak teringat pada sekolah Muhammadiyah di Belitong, latar utama Laskar Pelangi.

Sekolah reyot itu adalah simbol dari perjuangan melawan keterbatasan finansial, di mana Ibu Muslimah dan Pak Harfan mengajar bukan demi kesejahteraan pribadi, melainkan demi idealisme.

Ibu Muslimah adalah sosok yang rela mengorbankan segalanya, termasuk kenyamanan dan jaminan hidup, demi melihat murid-muridnya mendapatkan hak atas pendidikan.

Dalam konteks Luwu Utara, Abdul Muis dan Rasnal adalah perwujudan semangat pengorbanan yang sama. Mereka melihat rekan guru honorer menderita, sebuah kondisi yang juga dialami oleh guru-guru di Belitong yang bergaji minim, dan mereka tidak tahan.

Namun, yang membedakan kisah Luwu Utara dari Laskar Pelangi adalah hasil akhirnya. Jika Ibu Muslimah berjuang dalam kemiskinan dengan martabatnya yang utuh, Muis dan Rasnal harus menghadapi hukuman yang merampas kebebasan mereka.

Laskar Pelangi bercerita tentang keindahan di tengah keterbatasan, Luwu Utara menceritakan kehancuran di tengah niat baik.

Novel Andrea Hirata adalah potret masa lalu tentang utang negara kepada pendidik di pelosok, sementara kasus Luwu Utara adalah bukti bahwa utang itu belum terbayar lunas, bahkan menjadi berlipat ganda dengan adanya ancaman hukum.

Para guru honorer yang gajinya hendak dibayarkan oleh Muis dan Rasnal adalah replika dari kesengsaraan guru-guru yang digambarkan dalam novel. Gaji yang tertunda sepuluh bulan menunjukkan bahwa setelah sekian lama, problem fundamental kesejahteraan guru honorer yang terabaikan masih menjadi luka dalam sistem pendidikan Indonesia.

Muis dan Rasnal, sebagai ASN, mungkin memiliki jaminan hidup yang lebih baik, tetapi justru jaminan itulah yang mereka korbankan demi menegakkan rasa keadilan bagi guru honorer.

Reaksi warganet di media sosial pasca pemecatan terhadap kedua guru tersebut mencerminkan gelombang kemarahan kolektif.

Kasus Luwu Utara viral karena masyarakat menganggap Muis dan Rasnal bukan sebagai pelaku pidana, melainkan sebagai korban dari sistem yang tidak manusiawi. Respons positif yang masif terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan rehabilitasi adalah penegasan bahwa secara moral, publik mendukung tindakan kedua guru tersebut.

Keputusan rehabilitasi ini dipandang sebagai momen secercah keadilan, upaya untuk memulihkan kehormatan dan nama baik yang telah ternoda oleh proses hukum yang kaku.

Namun, rehabilitasi, betapapun pentingnya, hanyalah langkah korektif. Permasalahan pokoknya mungkin tetap belum tersentuh. Ribuan guru honorer yang gajinya tidak jelas dan minimnya payung hukum yang melindungi guru dari kriminalisasi.

Kasus Luwu Utara harus menjadi preseden yang mengubah kerangka berpikir. Negara harus menyadari bahwa profesi guru, yang menuntut pengabdian luar biasa, memerlukan perlindungan hukum yang kuat dan jaminan kesejahteraan yang memadai. Guru harus bisa mengajar tanpa dibayangi rasa takut dipidanakan.

Pada akhirnya, kisah Luwu Utara adalah pengingat bahwa semangat Laskar Pelangi, semangat berjuang demi pendidikan di tengah keterbatasan, masih hidup. Ia bersemayam dalam diri Abdul Muis dan Rasnal. Namun sejatinya, negara berutang budi, bukan hanya kepada Muis dan Rasnal, tetapi kepada seluruh guru honorer yang menjadi alasan mengapa kedua guru itu rela berkorban.

Hanya dengan menyelesaikan utang kesejahteraan ini, kita bisa memastikan bahwa kisah-kisah pengorbanan guru selanjutnya berakhir bahagia, bukan mendekam di balik jeruji besi.

Penulis alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM