Wurianto Saksomo: Makan Bergizi, Tidak Sekadar Mengenyangkan

Wurianto Saksomo: Makan Bergizi, Tidak Sekadar Mengenyangkan
Makan Bergizi Gratis

NGAWI - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah megaproyek yang menarik perhatian, menyulut harapan, sekaligus memicu perdebatan. Bagaimana tidak, di tengah ambisi besar untuk mencerdaskan dan menyehatkan generasi penerus, program ini terbentur pada realitas pelaksanaan yang rumit. Mulai dari soal anggaran triliunan rupiah hingga insiden keracunan yang menyedihkan.

Sebenarnya, ide memberikan makanan gratis di sekolah bukanlah barang baru. Ia adalah sebuah narasi panjang kemanusiaan yang terukir di berbagai belahan dunia. Namun, untuk memahami mengapa MBG di Indonesia selalu menjadi isu yang seolah tak pernah usai, kita perlu menengok ke belakang, belajar dari sejarah global, mengoreksi sejarah lokal, dan mendengarkan suara para ahli.

Jauh sebelum MBG ramai diperbincangkan di negeri ini, program serupa sudah menjadi pilar pembangunan di banyak negara, bahkan sejak mereka masih dalam kondisi miskin atau porak-poranda oleh perang.

Di Jepang dikenal dengan nama Kyushoku, atau makan siang sekolah, yang sudah dimulai sejak tahun 1889. Awalnya, program ini diinisiasi oleh para pendeta Buddha yang bersimpati pada murid-murid dari keluarga miskin di Prefektur Yamagata. Program ini kemudian menjadi masif setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.

Pasca 1946, dengan bantuan tepung terigu dari Amerika Serikat dan susu dari UNICEF, Kyushoku tak lagi hanya menyasar anak miskin, tetapi semua anak. Tujuannya melampaui urusan mengenyangkan perut. Pemerintah Jepang sangat serius, hingga akhirnya mengeluarkan Undang-Undang Makan Siang Sekolah pada 1954.

Lewat programnya Jepang tak hanya membagikan makanan tapi juga mengajarkan Shokuiku atau pendidikan makanan. Anak-anak di sana dilibatkan dalam penyajian hidangan hingga membersihkan ruang kelas. Ini adalah pelajaran hidup meliputi bagaimana makanan diproduksi, bagaimana menghargai budaya makanan tradisional, dan membentuk kebiasaan makan sehat seumur hidup. Intinya, mereka membuktikan bahwa program makan gratis adalah komponen penting untuk melawan kemiskinan dan membangun generasi unggul, terlepas dari kondisi ekonomi negara saat itu.

Lalu ada Finlandia, yang bahkan dianggap sebagai pelopor program makan gratis di sekolah. Sejak 1948, Finlandia menjamin setiap siswa sekolah dasar dan menengah (usia 6-16 tahun) mendapatkan makanan seimbang. Kunci suksesnya? Pemerintah Finlandia secara aktif membangun sektor pertanian domestik mereka untuk menjamin pasokan bahan pangan berkualitas, sehingga makanan yang disajikan adalah makanan yang betul-betul menyehatkan dan terjamin mutunya.

Inilah intinya. Program makan gratis di dunia sukses karena didukung oleh visi jangka panjang yang melibatkan edukasi, pertanian, dan komitmen serius terhadap kualitas, bukan hanya kecepatan eksekusi. Sayangnya, di Indonesia program makan gratis nampaknya memiliki sejarah kelam yang berulang. Seolah kita tidak pernah mengambil hikmah dari masa lalu.

Program MBG saat ini mirip dengan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), yang menjadi kebijakan unggulan di era Orde Baru pada paruh kedua 1990-an. Dengan anggaran puluhan miliar, PMT-AS bertujuan mulia, yaitu untuk mengurangi angka putus sekolah dan meningkatkan gizi.

Namun, program itu juga diwarnai insiden tragis yang mirisnya sangat mirip dengan apa yang terjadi di era sekarang. Sejarah mencatat serangkaian kasus keracunan massal PMT-AS. Salah satunya yang paling menggemparkan terjadi pada 3 Agustus 1997 di Banyumas, Jawa Tengah, di mana 82 murid SD dilarikan ke puskesmas usai menyantap bubur kacang hijau.

Kasus yang jauh lebih fatal terjadi pada 11 April 1997 di Lampung Utara, di mana 198 anak keracunan dan dua di antaranya meninggal dunia. Hasil pemeriksaan menunjukkan penyebabnya adalah kontaminasi bakteri E.coli dan Staphylococcus pada bubur kacang hijau yang dimasak terlalu cepat dan disimpan terlalu lama di suhu kamar.

Pemerintah Orde Baru kala itu bersikeras melanjutkan program dengan alasan insiden itu hanyalah “kecelakaan” dan bukan kegagalan sistem. Namun, program tersebut akhirnya terhenti oleh badai krisis ekonomi 1998. Kisah ini menjadi peringatan keras bahwa masalah sanitasi, kualitas pengolahan makanan, dan pengawasan yang longgar adalah ancaman yang membayangi program sebesar ini. Ketika kecepatan diutamakan, kualitas dan keamanan yang pertama dikorbankan.

Di tengah hiruk pikuk perdebatan anggaran MBG yang fantastis, suara dari ahli gizi bisa menjadi pengingat. Salah satu tokoh yang sering bersuara adalah dr. Tan Shot Yen, seorang dokter, ahli gizi, penulis, dan intelektual publik Indonesia yang vokal mengedukasi masyarakat tentang gizi, pangan lokal, dan pola makan sehat, terutama untuk anak-anak.

Dokter Tan menegaskan bahwa inti masalahnya bukan pada jumlah uang yang dikeluarkan, melainkan pada bagaimana uang itu dibelanjakan. Ia menyoroti bahwa anggaran yang ada seharusnya digunakan untuk bahan pangan yang benar-benar bernutrisi dan dikelola secara efisien, tidak melalui jalur rantai pasok yang panjang, apalagi penggelembungan anggaran.

Ia dan banyak ahli lainnya menekankan pentingnya menggunakan bahan pangan lokal yang sederhana, segar, dan diolah dengan pengawasan ketat. Jika uang terlalu banyak terserap di jalur birokrasi, tender, dan vendor yang mementingkan keuntungan, yang sampai ke piring anak hanyalah sisa dengan kualitas yang meragukan. Inilah titik kritis MBG. Visi luhur untuk menyediakan makan bergizi tidak boleh dinodai oleh praktik buruk dalam implementasi.

Program Makan Bergizi Gratis adalah komitmen besar untuk harapan masa depan bangsa. Namun, keberhasilannya tidak diukur dari seberapa besar anggaran yang dikucurkan atau seberapa cepat program ini disebar. Kesuksesan sejati terletak pada kesediaan kita untuk belajar dari sejarah. Kita perlu meniru visi Finlandia yang membangun pertanian dan ketelatenan Jepang dalam mengajarkan pola makan sehat. Dan yang paling penting, kita harus mengakhiri de javu menyedihkan PMT-AS di era Orde Baru, untuk memastikan bahwa setiap suap makanan yang masuk ke mulut anak-anak adalah makanan yang aman, higienis, dan benar-benar bergizi.

Hanya dengan memprioritaskan kualitas di atas kuantitas, sanitasi di atas kecepatan, dan transparansi di atas konflik kepentingan, barulah kita dapat memastikan bahwa “makan bergizi gratis” benar-benar menjadi investasi masa depan yang sehat, bukan lagi sebuah janji yang berakhir pahit.

Ditulis oleh Wurianto Saksomo, alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM