Memaknai Hari Pahlawan
NGAWI - Hari Pahlawan, yang kita peringati setiap tanggal 10 November, bukan hanya perayaan mengenang letusan senapan di Surabaya, tetapi juga refleksi abadi tentang hakikat keberanian dan integritas.
Semangat para pemuda 1945, yang rela mati demi tegaknya kemerdekaan, kini menemukan medan perangnya yang baru, yaitu melawan ketidakadilan dan penyalahgunaan hukum di dalam negeri sendiri.
Peristiwa heroik di Surabaya pada 10 November 1945, secara detail salah satunya diulas mendalam dalam buku “Kronik Pertempuran Surabaya” karya Ady Setyawan. Peristiwa tersebut merupakan simbol perlawanan tanpa kompromi.
Ia merekonstruksi bagaimana pertempuran ini dipicu oleh tekad bulat rakyat untuk mempertahankan kedaulatan yang baru diproklamasikan dan menolak keras kehadiran kembali penjajahan.
Buku ini menyajikan pertempuran di Kota Surabaya pada tahun 1945 secara kronik berdasarkan catatan dari pihak Indonesia dan -yang menarik- juga menggunakan sumber media asing. The Herald misalnya, pada 12 November 1945 mengabarkan sejumlah orang Indonesia terbunuh dalam serangan fanatik melawan tank-tank Inggris.
Di halaman 1 hari itu, koran the Herald menuliskan bahwa pada malam hari para wanita Indonesia memanfaatkan kegelapan untuk merangkak menuju zona pertempuran guna mengevakuasi mayat-mayat rekan mereka.
Api pertempuran itu melahirkan pahlawan fisik. Namun, kemerdekaan yang mereka rebut harus diisi dengan pahlawan moral. Inilah titik taut dengan tokoh seperti Yap Thiam Hien.
Jika pahlawan 1945 melawan meriam dan senapan, pahlawan setelahnya melawan penyalahgunaan supremasi hukum.
Biografi “Yap Thiam Hien: Sang Pendekar Keadilan” menggambarkan sosok yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan penegakan hukum dan hak asasi manusia di tengah rezim otoriter Orde Baru.
Yap Thiam Hien, seorang pengacara keturunan Tionghoa, bergelar Meester in de Rechten dari Universitas Leiden Belanda. Ia seorang pejuang yang gigih, tidak gentar berhadapan dengan penguasa, jaksa, maupun militer yang menyalahgunakan kekuasaan.
Bagi Yap, keadilan adalah harga mati kemerdekaan. Ia tidak mencari popularitas atau kekayaan. Ia mencari kebenaran. Dalam semangat Hari Pahlawan, Yap Thiam Hien mewakili pahlawan yang berani menyuarakan kebenaran dan membela kaum lemah.
Berani menyuarakan kebenaran artinya melawan hegemoni politik dengan argumentasi hukum. Sedangkan berani membela yang lemah berarti mendampingi mereka yang tertindas tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan.
Yap berprinsip,”Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Anda.” Seringkali suara lantang Yap bergema di ruang sidang.
Namun terkadang letupan pun muncul di luar persidangan. Pernah suatu hari Yap pulang dari sebuah konferensi hak asasi manusia di luar negeri. Setiba di Jakarta, ia antre di imigrasi bandara. Tiba-tiba ada seorang perwira berseragam militer langsung ke loket imigrasi, menyalip antrean.
Melihat hal itu sontak Yap berteriak-teriak sambil menuding sang perwira yang didampingi beberapa pengawalnya. “Hai! Kamu kira kamu siapa? Kami semua sudah antre dari tadi, sekarang kamu nyalip seenaknya! Mundur ke belakang antrean!”
Perjuangan Yap menunjukkan bahwa keberanian sejati di masa damai adalah integritas tanpa kompromi. Sebuah kualitas yang sama langkanya dengan peluru di tangan para pejuang 1945.
Tema kehormatan ini diperkuat dalam kisah-kisah fiksi yang menyentuh hati. Film “Nagabonar Jadi Dua” (2007) memberikan refleksi mendalam mengenai arti warisan perjuangan. Karakter Nagabonar yang lugu, namun menjunjung tinggi martabat ksatria, harus berhadapan dengan putranya yang terperangkap dalam gaya hidup hedonis dan pragmatis.
Film ini menyajikan kontras yang memilukan: generasi yang berjuang dengan kehormatan (Nagabonar) berhadapan dengan generasi yang menjual kehormatan demi materi dan kekuasaan (Boni). Kontras ini adalah kritik sosial tajam terhadap kondisi bangsa saat ini.
Ketika penegakan hukum terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kita menyaksikan “generasi yang jadi dua” itu. Di satu sisi kita mengenang pahlawan yang miskin harta tapi kaya integritas, di sisi lain kita melihat elite yang kaya raya tapi miskin nurani.
Pertanyaan terpenting yang diajukan film ini adalah: Apakah kita telah menjual warisan kehormatan yang dibayar mahal oleh para pahlawan 1945?
Hari Pahlawan di kala negeri sedang tidak baik-baik saja adalah panggilan untuk aksi, bukan sekadar wacana apalagi upacara. Hari Pahlawan adalah waktu untuk bertanya: Apakah kita telah menjaga kemerdekaan yang direbut dengan nyawa itu?
Oleh karena itu, peringatan Hari Pahlawan harus dimaknai sebagai panggilan berkelanjutan untuk menjadi pahlawan di sektor masing-masing.
Perjuangan fisik dalam perang kemerdekaan sudah usai, tetapi perjuangan untuk menegakkan keadilan dan melawan pengkhianatan moral adalah warisan abadi yang harus kita teruskan.
Inilah cara terbaik untuk menghormati pengorbanan para pahlawan bangsa. Agar kita menjadi negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
Penulis: Wurianto Saksomo alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM